Drama Pokemon Go


Baiklah.. izinkan saya ‘latah’ membahas game fenomenal Pokemon Go. Game ini diberitakan beberapa media, sebagai game dengan pengunduh terbanyak sepanjang masa pada pekan pertama rilisnya. Belum lagi, diberitakan bahwa booming Pokemon Go berhasil mendongkrak saham Nintendo ke level tertingginya sejak November (link berita).

Berita-berita itu kemudian diikuti dengan berita-berita tentang ‘efek’ dari permainan ini. Yang positif, bermunculannya komunitas sebagai ajang silahturahim pengguna Pokemon Go. Positif yang lain menurut saya, jadi banyak yang jalan kaki, lari, sepeda, atau skateboarding demi berburu Pokemon. Yes, kalo olahraga bisa dibuat menyenangkan, kenapa tidak? Yang menggunakan ojek atau jasa transportasi pun, masih ada positifnya. Bagi-bagi rezeki kan. Yang naik kendaraan pribadi, setidaknya memberi tambahan omset pada perusahaan penyedia bahan bakar lah.

Yang negative, tentu saja banyak juga. Misalnya, seliweran di tempat ibadah sampai mengganggu kenyamanan yang sedang beribadah. Atau membahayakan diri dan pengguna jalan yang lain (karena jalan kaki/lari/bersepeda/mengemudi sambil memperhatikan layar smartphone). Menjadikan penggunanya anti social (karena lebih serius cari Pokemon dari pada bersosialisasi). Belum lagi mengalami hal-hal yang tidak mengenakkan seperti ketemu mayat atau ketemu jabret.

Semua itu, tadinya, tidak mengusik saya. Sampai hari ini timeline saya banjir share link tentang ‘arti Pokemon’ (selain luber-luber tentang kekinian mengantar anak sekolah, maklum yaaa pertemanan saya umur seginian).

Awalnya, banyak yang share link artikel yang menyebutkan arti Pokemon yang cenderung berbau agama tertentu. Entahlah sudah berapa banyak di share artikel sejenis itu. Ada yang share saja, ada yang menambahkan bumbu provokasi. Kemungkinan besar yang share juga tidak terlalu mengerti arti Pokemon dan hanya berdasarkan ‘katanya’ dari artikel tersebut.

Tidak lama, muncul lah notes yang membantah artikel tersebut. Dengan claim sudah cek kamus berbagai bahasa. Tidak berhenti sampai situ, ramai lah teman-teman share notes bantahan tersebut. Banyak yang ditambahi komentar satir/menyindir/membodohi teman-teman yang sebelumnya share artikel yang bertentangan. Kemungkinan juga teman-teman tipe ini, sebenarnya juga tidak benar-benar paham arti Pokemon dan hanya berdasarkan ‘katanya’ dari notes itu.

‘Drama’ arti Pokemon ini menggelitik saya. Sekitar 1,5 tahun lalu saya mengerjakan tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu dengan tema Cyber Ethics. Waktu itu saya mengangkat fenomena ‘banci share berita online’. Kasus yang saya angkat ketika itu (dan sepertinya sih kasusnya masih relevan hingga sekarang) adalah pergolakan politik di Indonesia. Ingat kan PEMILU dan PILPES 2014, hingga sepak terjang pemerintah di bawah Jokowi terus saja dijadikan bahan diskusi, pergunjingan, provokasi, dan propaganda. Mengapa saya sebut begitu? Karena kedua pihak, menurut saya, ikut serta dalam ‘drama’ ini dan kedua pihak tidak selalu menjaga etika dalam menyebarkan informasi dan berjejaring social.

Baiknya kita liat dulu sejarah Cyber Ethics ya. Dikisahkan (Bynum, 2001), pada awal 1940an, seorang profesor MIT Norbert Wiener menanggapi tantangan ilmu rekayasa dengan menciptakan lapangan ilmiah baru – ilmu sistem umpan balik informasi – yang ia beri nama ‘cybernetics’. Dengan wawasannya yang luar biasa, Wiener menggabungkan konsep cybernetics dengan ide-ide dari komputasi digital, dan meramalkan sejumlah masalah etika komputer yang akan terjadi. Saya sendiri belum membaca secara menyeluruh ramalan Norbert Wiener ini.

Selanjutnya pada 1960an, computer scientist Donn Parker mengamati tindakan illegal dan tidak etis dalam penggunaan computer yang dilakukan oleh professional. Menurut Parker, seolah-olah manusia menanggalkan etikanya ketika bekerja dengan computer. Mudah-mudahan engga sampai segitunya yaa..

Peningkatan penggunaan jaringan computer dalam kehidupan sehari-hari berkaitan dengan menghubungkan umat manusia, bisnis dan masyarakat dalam bentuk virtual. Beberapa berpendapat bahwa virtualisasi memperluas hubungan social dengan cara yang sebelumnya tidak ada. Virtualisasi juga membuka perilaku social baru – memungkinkan setiap individu untuk memikirkan, membangun dan menyajikan identitas mereka dengan cara yang hampir tak terbatas(Introna & Brigham, 2007).

Komputer tidak memiliki batasan. Jaringan computer memiliki karakter global. Sehingga, ketika kita berbicara mengenai computer ethics, kita sebenarnya membahas etika global. Dengan kata lain, computer ethics menjadi universal.

Salah satu komponen yang paling penting dari dunia cyber adalah jejaring sosial. (Sharma, Lomash, & Bawa, 2014) menyoroti pentingnya konteks sosial dalam teknologi dan perilaku manusia. Keberhasilan sistem komputasi sosial, yang isinya dibuat hampir seluruhnya oleh pengguna, tergantung pada kemauan penggunanya untuk berbagi dalam lingkungan sosial yang maya.

(Bertolotti & Magnani, 2013) mengungkapkan bahwa jejaring social harus dipahami sebagai akar fenomena sosial: gosip. Dan sebagaimana gossip dalam dunia nyata, gossip melalui jejaring social juga menjadi masalah bagi perilaku dan kehidupan social. Hal ini hanya satu dari sekian banyak isu dan tantangan yang dihadapkan pada perkembangan jejaring social. Masalah lainnya berkaitan dengan privacy, keamanan, bullying, dan kesalahpahaman (Neill, 2013).

See my point? Sejauh ini lah sudah kita menggunakan jejaring social. Dan kita terjerat pada masalah itu: gossiping via jejaring social. Di agama saya, gossiping (atau ghibah) adalah perbuatan dosa. Apalagi via jejaring social dimana banyak sekali orang yang dapat membaca apapun yang saya bagikan. Entah berapa banyak dosa yang harus saya tanggung jika salah satu informasi tersebut ternyata salah atau menyakitkan buat orang lain.

Saya berkesimpulan bahwa untuk menjaga kedamaian ranah dunia maya banyak yang harus dijaga: regulasi (untuk lembaga jurnalistik), etika (untuk pribadi), dan tanggung jawab social (secara kolektif). Sebagai penikmat jejaring social, porsi kita ada di etika dan tanggung jawab social. Hingga saat ini memang belum ada konsensus mengenai etika dalam berjejaring social.    Hal yang dapat kita lakukan adalah berhati-hati mencerna informasi. Jangan telan mentah-mentah semua opini dan pemberitaan. Bisa jadi, ada kecenderungan media untuk memihak kepentingan tertentu. Etika pribadi ini sebenarnya untuk melindungi diri kita sendiri dari berasumsi dan beropini yang tidak tepat.

Selanjutnya, jangan mudah share informasi. Dengan demikian, kita menghindari masyarakat yang lebih luas untuk mendapatkan informasi yang bisa saja salah. Apalagi dengan ditambahi komentar tertentu. Sudahlah, jangan menyebar bensin pada api soalnya kalo ada kebakaran kamu juga ikutan susah (apa sih). Ini adalah bagian dari tanggung jawab social. Pada akhirnya, kita kok yang memiliki kekuatan dan otoritas dalam memutuskan sejauh apa teknologi dapat mempengaruhi hidup kita.

Jadi, soal Pokemon itu gimana? Ya engga gimana-gimana sih.. Jujur sejujur-jujurnya, saya ga main Pokemon dan saya ga segitu pinternya tau arti kata Pokemon dan berbagai istilah serta karakter di dalamnya. Saya hanya sedih hal tersebut (yang mana kedua versi itu belum tentu benar) sudah jadi pergunjingan dan drama. Kan mendingan nonton drama korea gituu..

 

Kalo mau baca sumber asli referensi cyber ethics:

Bertolotti, T., & Magnani, L. (2013). A philosophical and evolutionary approach to cyber-bullying : social networks and the disruption of sub-moralities. Springer- Ethics Information Technology, 15, 285–299. http://doi.org/10.1007/s10676-013-9324-3

Bynum, T. W. (2001). Computer ethics : Its birth and its future. Ethics and Information Technology, 3, 109–112.

Introna, L. D., & Brigham, M. (2007). Reconsidering community and the stranger in the age of virtuality. Socierty and Business Review, 2(2), 166–178. http://doi.org/10.1108/17465680710757385

Neill, B. O. (2013). Who cares ? Practical ethics and the problem of underage users on social networking sites. Springer- Ethics Information Technology, 15, 253–262. http://doi.org/10.1007/s10676-013-9331-4

Sharma, S., Lomash, H., & Bawa, S. (2014). Who Regulates Ethics in the Virtual World? Science Engineering Ethics. http://doi.org/10.1007/s11948-014-9516-1

 


Leave a Reply